Jejak Buangan Belanda di Masjid Jami Tambora



BERITAJAKARTA.COM — 26-06-2012 13:54
Menjadi orang buangan sangat identik dengan ketersia-siaan. Namun, tidak bagi KH Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Para pejuang yang lama menetap di Sumbawa, tepatnya di kaki gunung Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, memiliki peran besar atas berdirinya Masjid Jami Tambora yang kini masih berdiri kokoh.

Masjid yang berlokasi di Jalan Tambora Masjid (dahulu Jalan Blandongan) RT 03/03, Kelurahan Tambora, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang kini telah menjadi benda cagar budaya merupakan peninggalan para pejuang yang sengaja dibuang Belanda di Batavia. Ketua Pengurus Masjid Tambora, Yakub menjelaskan, masjid tersebut dibangun pada tahun 1181 Hijriah atau 1761 Masehi, setelah KH Moestoyib, Ki Daeng dan teman-temannya dibuang ke Batavia oleh kompeni pada tahun 1755 akibat penentangannya dan menjalani hukuman di penjara di Batavia selama lima tahun. Setelah bebas tahun 1761 Masehi, KH Moestoyib, Ki Daeng dan rekan-rekannya yang ingin menetap di Batavia, jelas Yakub kemudian mendirikan masjid tersebut.

“Jadi awal dibangunnya masjid yang akhirnya diberi nama Masjid Jami Tambora merupakan sebagai wujud syukur KH Moestoyib, Ki Daeng dan rekan-rekannya setelah bebas dari penjara dan ingin menetap di Batavia,” ujar Yakub, Selasa (26/6).

Yakub menjelaskan, sejak masjid selesai dibangun peribadatan dipimpin oleh KH Moestoyib sampai wafat. Letaknya yang persis di pinggir anak Sungai Ciliwung membuat masjid tersebut banyak didatangi para pedagang yang ingin shalat. Maklum transportasi air menjadi andalan warga saat itu. Ada kisah lain yang cukup menarik dari masjid tersebut, karena saat zaman peperangan melawan NICA tahun 1945, masjid itu juga digunakan para pejuang Indonesia yang dipimpin Mad Supi sebagai markas perjuangan pemuda Muslim. Namun sayangnya, pada bulan Oktober tahun yang sama masjid diserang NICA, dan Mad Supi serta rekan-rekannya pun ditawan Belanda.

“Jadi dahulu selain sebagai tempat musyawarah para pemuda Muslim untuk melawan NICA, juga sebagai tempat shalat para pedagang yang melintas di anak Sungai Ciliwung,” ujar Yakub.

Saat ini keberadaan masjid tersebut masih berdiri kokoh pada lahan seluas 2.500 meter persegi dengan luas bangunan 1.250 meter persegi. Masjid dengan gaya arsitektur paduan Arab, Belanda, dan Cina itu tampak unik. Perpaduan tiga negara itu bisa dilihat dari tegel tiang penyangga lingkup masjid yang saat ini dicat berwarna merah bertuliskan huruf Arab. Atap masjid yang dibuat tumpang dua berbentuk limasan mengakomodir gaya Cina, serta kayu pada pada pintu yang bergaya Belanda. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa KH Moestoyib dan Ki Daeng yang wafat tahun 1836, makam mereka diletakkan di sisi sebelah kiri masjid.

info jakarta, wisata

Blogger Tricks

.
 

© 2011 AGEN BISNIS PULSA MURAH - Designed by Perdana | Mukund | Privacy Policy | Sitemap

About Us | Contact Us